Aku dan Negeriku

Sabtu, 25 Agustus 20120 komentar

AKU DAN NEGERIKU
Oleh NIZAR FAHMI

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Selalu dipuja-puja bangsa

Ini negeriku, negeriku seribu pulau yang sangat bersahaja dengan penghuninya, negeri yang selalu terbuka untuk orang asing yang ingin berwisata atau bahkan ingin mengeksploitasi sekali pun. Negeri ini mempunyai bentangan alam yang indah dengan ratusan gunung berdiri tegak dari ufuk timur hingga ufuk barat, udaranya sejuk segar saat dihirup. Negeri ini dikelilingi oleh lautan yang membiru dengan milyaran ikan di dalamnya. Para nelayan hidup sangat makmur di sini, tak ada kelaparan yang menampakkan dirinya jika kita berkeliling di desa nelayan, semuanya hidup makmur.
Saat aku berjalan melewati sebuah dusun di tengah-tengah daratan, aku melihat jembatan yang hancur, sebagian dari jembatan itu hanyut terbawa arus air yang sangat deras sore itu. Aku bingung memikirkan bagaimana warga desa ini melakukan aktifitas mereka padahal jembatan penghubung satu-satunya ini rusak. Aku bertanya pada seorang lelaki kurus berpakaian mecing yang sejak tadi berdiri di sampingku, “Pak, bagaimana caranya ya kalau mau menyeberang ke sana?”, ujarku, lelaki itu menjawab, “Mudah saja nak, kita akan menunggu hingga jembatan ini benar kembali”. Kulihat wajah lelaki itu, wajahnya sangat innocent, aku tak mengerti apa yang dipikirkannya hingga ia berkata seperti itu. aku diam. Tiba-tiba ia kembali bersuara, “Kita akan menunggu hingga pemerintah membetulkan jembatan ini, dan kita akan duduk di sini menunggu mereka”. Pikirku orang ini sudah gila dengan mengatakan hal yang seperti itu, yang aku tahu pemerintahan negeri ini sudah sejak lama mati hanya jasadnya saja yang nampak jelas padahal ruhnya telah dicabut oleh malaikat maut.
Rasa heran membuatku kembali bertanya pada lelaki itu. “Bagaimana mungkin bapak mau menunggu pemerintah membetulkan jembatan ini? Bukankah pemerintah kita sudah lama mati pak?”, aku duduk di samping lelaki itu, mungkin saja ia akan mengeluarkan kata-kata bijak.
“Apa!!! Kamu mengatakan kalau pemerintah negeri kita sudah mati? Kamu benar-benar kurang ajar nak, pemerintah kita tidak mati, mereka hanya sedang berwisata ke akhirat”, lelaki itu menunjukkan wajah sangarnya yang hitam, matanya membesar, warna wajahnya merah seperti sedang menahan amarah.
“i..i..iya pak”, aku sedikit ketakutan mendengar ungkapannya yang membentak. “Maksud bapak wisata ke akhirat itu apa?”, aku memberanikan diri untuk bertanya kembali padanya dengan segala risiko yang sudah kubayangkan tentunya, seperti ditampar atau mungkin saja dilempar ke sungai.
“pemerintah kita sedang berwisata ke akhirat, mereka sedang melihat-lihat orang yang disiksa karena dosa-dosa mereka, di antara orang-orang itu ada yang dibakar, disiram menggunakan air yang sangat panas suhunya, bahkan ada yang ditusuk matanya nak. Yang bapak maksud mereka berwisata ke akhirat adalah agar mereka mengambil pelajaran dari sana bahwa KORUPSI dan LALAI DALAM MENGEMBAN AMAMAH adalah dosa, karena merugikan seluruh komponen masyarakat negeri ini, sehingga nanti saat mereka kembali dari wisatanya, mereka akan menjadi lebih baik saat melaksanakan tugas kenegaraan mereka, dan negeri kita akan menjadi negeri yang makmur, amin”. Lelaki itu pergi begitu saja setelah menjelaskan panjang lebar padaku tentang “wisata ke akhirat itu”. aku melongo saja, menatap kedepan dengan tatapan kosong.
“Ternyata apa yang dikatakan lelaki itu ada benarnya juga. Neraka memang tempat penyiksaan orang-orang yang berdosa dan surge adalah tempat bagi orang yang taat kepada Tuhan. Ah, semoga saja negeri ini akan menjadi lebih baik lagi di masa mendatang…Amin..”, gumamku seraya pergi meninggalkan jembatan yang rusak itu.

Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Gunung Djati, Semester III
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Forkomnas KPI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger